Di sebuah kota yang sedang berkembang pesat, terdapat sebuah kantor instansi pemerintah yang selalu disibukkan dengan berbagai tugas dan pelayanan publik. Kantor itu terletak di pinggir jalan utama yang ramai, tempat orang berlalu-lalang dengan tujuan masing-masing. Hari itu, suasana di dalam kantor instansi tersebut tampak sibuk, namun ada seorang pria yang cukup tenang di sudut ruang, menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi.
Pria itu bernama Arif, seorang Kepala Bidang yang dikenal baik oleh rekan-rekannya. Pagi itu, ia tengah mengecek laporan bulanan yang perlu segera dikirimkan ke atasan. Namun, di luar ruangan, suasana sedikit tegang. Seorang wartawan muda, bernama Budi, berdiri di dekat pintu masuk, tampak gelisah. Ia belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dari salah satu pegawai mengenai kegiatan yang sedang berlangsung di instansi tersebut.
“Pak Arif, maafkan saya mengganggu,” suara Budi terdengar dari pintu ruang kerja Arif.
Arif menoleh dengan senyum, lalu mempersilakan Budi masuk. “Ada yang bisa saya bantu, Kang Budi?”
Budi duduk dengan sedikit ragu, matanya masih memegang kertas catatan yang penuh pertanyaan. “Begini, Pak Arif. Kami dari media mendengar beberapa isu terkait proyek pembangunan gedung pelayanan publik yang kegiatannya ada di bidang Pak Arif. Beredar kabar bahwa anggarannya belum digunakan dengan semestinya, dan kami ingin konfirmasi tentang hal itu.”
Arif mengangguk dan menatap Budi dengan tenang. “Saya paham apa yang Kang Budi maksud. Tapi sebelumnya, izinkan saya menjelaskan beberapa hal. Proyek itu memang tengah kami kerjakan, dan ada banyak proses yang harus dilalui sebelum dana bisa digunakan. Kami bekerja sangat hati-hati, memastikan semuanya sesuai prosedur.”
Budi mengangguk. “Tapi, Pak, ada yang mengatakan bahwa ada tahap yang tidak transparan dalam proses itu. Sehingga banyak pihak merasa ragu apakah dana itu benar-benar digunakan dengan tepat.”
Arif mendalam menatap Budi. “Saya mengerti Kang Budi kalau itu adalah informasi yang datang ke Anda, dan sebagai wartawan, tentu Kang Budi harus mencari tahu kebenarannya. Tapi begini Kang, ada satu hal yang ingin saya katakan: apakah kita pernah merenung sejenak dan berpikir bahwa jika energi kita banyak terkuras untuk menemukan kelemahan orang di sana sini, itu justru bisa menambah keraguan publik terhadap kerja keras orang lain?”
“Begini, Budi,” lanjut Arif dengan lembut. “Kami selalu siap untuk diaudit oleh lembaga yang berwenang. Itu adalah bagian dari tanggung jawab kami sebagai aparatur negara. Namun, jika pendekatan yang digunakan hanya terfokus pada mencari kelemahan tanpa melihat gambaran besar, terkadang itu bisa berdampak kurang produktif. Tidak hanya bagi kami, tetapi juga bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang lebih baik. Kita bisa lebih konstruktif jika saling bekerja sama.”
Budi sedikit tertegun. “Tapi, apakah tidak lebih baik saya menyoroti aspek-aspek yang masih kurang agar bisa segera diperbaiki?”
“Benar, dan itu adalah niat yang mulia,” jawab Arif. “Namun, ada cara yang lebih membangun untuk melakukannya. Daripada hanya menyoroti kelemahan, bagaimana kalau kita fokus untuk menggali potensi? Misalnya, jika ada kebijakan atau proyek yang Anda rasa bisa lebih baik, bagaimana jika Anda mengusulkan perbaikan atau solusi? Itu akan jauh lebih memberi manfaat.”
Budi terdiam, mencerna kata-kata Arif. Ia tak merasa disalahkan atau dipersalahkan. Sebaliknya, ia merasa dihargai dan diajak untuk berpikir lebih jauh tentang peran media dalam menciptakan perubahan.
Sebelum Budi sempat menjawab, pintu ruangan tiba-tiba diketuk. Seorang pria masuk segera setelah dipersilakan.
“Maaf, Pak Arif,” suara itu terdengar sangat serius. “Saya ingin tahu kenapa laporan proyek kita tiba-tiba dipertanyakan oleh media?”
Arif menoleh. Yang datang adalah Dedi, PPTK (pejabat pelaksana teknis kegiatan) proyek pembangunan gedung pelayanan publik itu. Wajahnya terlihat tegang, jelas tidak senang dengan situasi ini.
“Dedi, silakan duduk dulu,” kata Arif dengan tenang.
Dedi seketika duduk. “Pak, kami sudah bekerja siang malam untuk proyek ini. Tapi sekarang muncul tuduhan yang bisa mencoreng nama baik kami. Saya harap ini bukan karena ada yang sengaja menyudutkan kami.” Ia melirik ke arah Budi.
Budi merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul. Ia menarik napas, lalu berkata dengan tenang, “Pak Dedi, saya datang ke sini bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Tugas saya adalah memastikan informasi yang beredar di masyarakat itu benar.”
Arif mengangguk, lalu menatap keduanya. “Dedi, saya paham kekhawatiranmu. Tapi mari kita lihat ini sebagai kesempatan untuk memperjelas semuanya. Justru dengan memberikan penjelasan yang transparan, kita bisa meredam isu-isu yang tidak berdasar.”
Dedi masih tampak ragu. “Tapi bagaimana kalau media sudah punya kesimpulan sendiri?”
Budi menggeleng. “Saya belum menyimpulkan apa pun, Pak. Justru saya ingin mendapatkan data langsung dari sumbernya.”
Arif tersenyum. “Nah, ini yang saya maksud. Kita jangan terjebak dalam suasana saling curiga. Sebaliknya, mari kita gunakan kesempatan ini untuk membangun kepercayaan.”
Dedi menghela napas. “Baiklah. Kalau begitu, saya siap memberikan data yang dibutuhkan. Dan saya ingin pemberitaan tentang proyek ini benar-benar berdasarkan fakta dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Saya tidak ingin berita yang dinodai oleh aneka opini”
Budi tersenyum tipis. “Tentu, Pak. Saya akan menulis dengan seimbang.”
Arif menepuk bahu Dedi. “Terima kasih, Dedi. Dan terima kasih juga, Kang Budi, karena mau mendengar langsung dari kami.”
Ketegangan pun mencair. Budi merasa lega karena bisa mendapatkan informasi dari sumber utama, sementara Dedi merasa lebih dihargai karena diberi kesempatan menjelaskan.
Saat Budi berpamitan, ia berkata kepada Arif, “Pak, saya belajar sesuatu hari ini. Terkadang, kepercayaan lebih kuat dari sekadar opini. Saya akan selalu berupaya lebih berhati-hati dalam menulis, menjaga keseimbangan berita, dan sekaligus berikhtiar maksimal menciptakan ruang untuk solusi.”
Arif tersenyum. “Itulah yang kita butuhkan Kang. Kritik membangun, karena sejatinya media adalah bagian dari pilar-pilar peradaban juga”
Budi mengangguk dan melangkah keluar dengan pikiran yang lebih terbuka. Sementara itu, Arif kembali ke mejanya, merasa bahwa hari ini ia telah mengambil langkah kecil menuju perubahan yang lebih baik.
Beranda
/ Di Balik Lensa Kehidupan
Posting Komentar untuk "Di Balik Lensa Kehidupan"