Tangan yang Mengusap Luka

Matahari perlahan tenggelam di balik bukit-bukit kecil di Desa Suka Damai. Sinar keemasan menghiasi langit senja, menyelimuti desa itu dalam suasana hangat yang penuh kedamaian. Namun, di sudut kecil sebuah rumah sederhana, seorang wanita tua bernama Ibu Hana sedang sibuk mencuci perban di baskom kecil di beranda rumahnya.

Ibu Hana dikenal sebagai tabib desa. Meski bukan dokter, ia adalah orang yang pertama kali dicari jika ada yang terluka atau sakit. Tangan tuanya yang penuh keriput telah mengobati luka-luka tak terhitung banyaknya, dari goresan kecil hingga cedera yang lebih serius. Namun, ia bukan hanya seorang penyembuh fisik. Banyak yang datang kepadanya membawa luka yang tak terlihat – luka hati, kecewa, atau kehilangan.

Sore itu, seorang pemuda bernama Farhan mendatangi rumah Ibu Hana. Wajahnya lesu, matanya sembab, dan langkahnya berat.

“Assalamualaikum, Bu Hana,” sapanya lirih.

“Waalaikumsalam, Nak Farhan. Masuklah, duduk dulu,” jawab Ibu Hana, sambil mengisyaratkan pemuda itu duduk di bangku kayu di dekatnya.

Farhan duduk, memandangi lantai tanpa berkata-kata. Setelah beberapa saat, ia mulai berbicara, “Bu, saya merasa tidak sanggup lagi. Hidup ini terlalu berat.” Suaranya bergetar.

Ibu Hana menatap Farhan dengan lembut. “Ceritakanlah, Nak. Apa yang membuatmu merasa seperti itu?”

Farhan menarik napas dalam-dalam, lalu menceritakan segalanya. Tentang kegagalannya mendapatkan pekerjaan yang diimpikan, tentang tekanan dari keluarga, dan tentang perasaan tidak cukup baik yang terus menghantuinya.

Ibu Hana mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Ketika Farhan selesai berbicara, ia tersenyum lembut dan berkata, “Nak, luka yang kau rasakan sekarang adalah bagian dari perjalananmu. Seperti luka di tubuh, luka di hati juga membutuhkan waktu untuk sembuh. Tapi ingat, luka itu tidak akan sembuh sendiri. Ia butuh perawatan.”

Farhan menatap Ibu Hana dengan mata berkaca-kaca. “Bagaimana cara merawat luka ini, Bu? Rasanya terlalu dalam.”

Ibu Hana bangkit perlahan, mengambil sekeping daun sirih dari atas meja, lalu berkata, “Kau lihat daun ini? Ketika seseorang terluka, aku menggunakan daun ini untuk membantu menyembuhkannya. Tapi sebelum daun ini bisa menyembuhkan, aku harus membersihkan lukanya terlebih dahulu, meskipun itu terasa perih.”

Farhan mengangguk pelan, meski masih bingung.

“Luka di hatimu juga begitu, Nak. Kau harus membersihkannya dulu. Maafkan dirimu atas apa yang kau anggap sebagai kegagalan. Maafkan orang lain yang mungkin telah membuatmu merasa tidak cukup baik. Setelah itu, baru kau bisa mulai mengobatinya – dengan kasih sayang, doa, dan usaha untuk terus melangkah ke depan,” jelas Ibu Hana dengan suara lembut.

Air mata mengalir di pipi Farhan. Kata-kata Ibu Hana seolah-olah menembus hatinya, memberikan rasa lega yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

“Bu, apakah semua luka benar-benar bisa sembuh?” tanyanya dengan nada ragu.

Ibu Hana tersenyum lagi. “Tidak semua luka akan hilang tanpa bekas, Nak. Tapi bekas luka itu bukanlah sesuatu yang buruk. Ia adalah tanda bahwa kau pernah terluka, dan kau berhasil melewatinya. Tanda bahwa kau kuat.”

Farhan mengangguk. Ia merasa ada secercah harapan yang mulai menyala di hatinya. Ia pamit pulang dengan langkah yang lebih ringan, membawa pelajaran berharga dari wanita tua yang penuh kebijaksanaan itu.

Di beranda rumahnya, Ibu Hana memandangi langit yang mulai gelap. Ia berbisik dalam hati, “Ya Allah, sembuhkanlah luka-luka mereka yang datang kepadaku. Jadikanlah tanganku ini alat untuk menyampaikan kasih-Mu.”

Dalam kesunyian malam, angin membawa doa itu ke langit, mengiringi cahaya bintang yang mulai bermunculan. Seperti tangan Ibu Hana yang mengusap luka, malam itu pun hadir sebagai selimut lembut yang menghapus kelelahan dan memberi harapan baru bagi mereka yang berserah.

Posting Komentar untuk "Tangan yang Mengusap Luka"