Di Antara Gemuruh Jakarta

Langit Jakarta sore itu terlihat suram. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut berduka bersama Zaid. Di salah satu sudut rumah sakit besar di pusat kota, Zaid duduk termenung di ruang tunggu. Sebuah panggilan telepon pagi tadi mengubah dunianya. Ayahnya, satu-satunya keluarga yang tersisa, baru saja berpulang.

Pikiran Zaid melayang ke masa-masa indah bersama ayahnya. Ayahnya adalah seorang pria sederhana dengan senyum hangat yang selalu memberikan nasihat bijak. Ayah sering berkata, “Nak, hidup ini adalah perjalanan sementara. Jangan terlalu melekat pada dunia.” Tetapi sekarang, ketika kepergian itu nyata, kata-kata itu terasa kosong. Kehilangan ini begitu berat, seperti lubang yang tak dapat diisi.
Usai pemakaman, Zaid kembali ke rumahnya yang sempit di tengah hiruk pikuk Jakarta. Ia memandang foto ayahnya yang tersenyum di atas meja. Kenangan itu mendesaknya, membuat dadanya sesak. Malam itu, ia terisak sendirian di sudut kamar, memeluk foto itu erat-erat.
Keesokan harinya, Zaid memutuskan untuk pergi ke masjid terdekat. Ia merasa perlu berbicara dengan seseorang yang bisa membantunya memahami rasa kehilangan ini. Setelah shalat ashar, ia mendekati seorang imam tua yang sedang duduk di tangga masjid.
“Ustadz, bolehkah saya berbicara sebentar?” tanyanya.
Imam itu mengangguk sambil tersenyum. “Tentu, anakku. Apa yang ingin kau sampaikan?”
Dengan suara bergetar, Zaid menceritakan kepergian ayahnya. “Saya tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa beliau. Kehilangan ini terlalu besar untuk saya tanggung.”
Sang imam mendengarkan dengan sabar sebelum menjawab, “Zaid, tahukah kau bahwa Allah tidak pernah membebani hamba-Nya melebihi kemampuannya? Ayahmu telah kembali kepada Rabb-nya, yang Maha Penyayang. Kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang lebih abadi.”
Zaid terdiam. Kata-kata itu menembus hatinya, tetapi rasa sakitnya tetap ada. “Tapi mengapa rasanya begitu sulit, Ustadz?”
Imam itu tersenyum lembut. “Kesedihan itu wajar, anakku. Bahkan Rasulullah SAW menangis ketika putranya, Ibrahim, wafat. Tetapi beliau juga mengingatkan kita untuk tidak larut dalam kesedihan. Kematian adalah pengingat bagi yang hidup, bahwa kita harus mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya.”
“Ustadz, bagaimana saya bisa berdamai dengan rasa kehilangan ini?” tanya Zaid penuh harap.
“Ingatlah, Zaid, bahwa doa adalah jembatan antara yang hidup dan yang telah tiada. Setiap doa yang kau panjatkan untuk ayahmu akan menjadi cahaya baginya di alam sana. Selain itu, lakukanlah amal baik atas nama beliau. Itulah cara terbaik untuk menunjukkan cinta kepada orang yang telah pergi,” jawab imam dengan lembut.
“Jadi, saya harus mencoba mengubah kesedihan ini menjadi tindakan?” Zaid mencoba memahami.
“Benar sekali. Hidup adalah amanah. Kita yang masih di sini punya tugas untuk melanjutkan perjalanan, membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain. Dengan begitu, kenangan ayahmu akan tetap hidup dalam setiap kebaikan yang kau lakukan.”
Malam itu, Zaid pulang dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Ia mulai merenungkan kata-kata sang imam. Ia membuka Al-Qur'an dan membaca ayat-ayat tentang kehidupan dan kematian. Salah satu ayat yang ia temukan adalah, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan" (QS. Al-Ankabut: 57).
Hari-hari berlalu, dan Zaid mulai menerima kepergian ayahnya. Ia menyadari bahwa rasa kehilangan ini tidak boleh membuatnya terpuruk. Sebaliknya, ia harus menjadikannya motivasi untuk hidup lebih baik, sebagaimana yang selalu diajarkan oleh ayahnya.
Suatu hari, Zaid bertemu kembali dengan imam di masjid.
“Ustadz, saya merasa lebih tenang sekarang. Tetapi terkadang rasa rindu itu kembali, dan saya merasa kehilangan arah,” ungkap Zaid dengan jujur.
Imam itu menatapnya dengan bijak. “Itu adalah bagian dari cinta, Zaid. Rindu adalah bukti bahwa hubunganmu dengan ayahmu sangat kuat. Tetapi jangan biarkan rindu itu menjadi belenggu. Gunakanlah ia sebagai pengingat untuk terus berbuat baik dan memperbaiki diri.”
Suatu sore, saat ia berjalan di taman kota yang ramai, ia melihat seorang anak kecil menggenggam erat tangan ayahnya. Pemandangan itu mengingatkan Zaid pada masa kecilnya. Alih-alih merasa sedih, ia tersenyum. Ia menyadari bahwa cinta ayahnya akan selalu hidup dalam hatinya, menginspirasi setiap langkahnya.
Di tengah gemuruh Jakarta yang tidak pernah tidur, Zaid menemukan kedamaian dalam keyakinannya. Ia belajar bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan, dan kematian adalah pintu menuju pertemuan abadi dengan Sang Pencipta. Dengan pemahaman itu, ia melangkah maju, membawa cinta dan doa untuk ayahnya dalam setiap detak jantungnya.

Catatan:
Cerpen di atas bisa ditemukan pula di akun Facebook penulis: Di Antara Gemuruh Jakarta.

Posting Komentar untuk "Di Antara Gemuruh Jakarta"