Laut yang Berbisik tentang Kehidupan


Fajar baru saja merekah di ufuk timur. Di tepi pantai Desa Karang Tirta, seorang pria tua duduk di atas batu karang, menatap lautan yang tenang. Wajahnya penuh kerutan, tapi matanya memancarkan kedamaian yang sulit dijelaskan. Namanya Pak Dirman, seorang nelayan yang telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama laut.
Setiap pagi, sebelum orang lain terjaga, Pak Dirman datang ke sini. Ia menyebutnya sebagai “waktu berbicara dengan laut.” Ada sesuatu di lautan yang selalu menariknya – gemuruh ombak, semilir angin asin, dan hamparan biru tanpa batas. Baginya, laut adalah guru yang tak pernah berhenti mengajarkan kebijaksanaan.
“Pak Dirman, mengapa Bapak selalu duduk di sini?” tanya Arya, seorang pemuda yang baru saja pindah ke desa itu. Arya adalah seorang penulis yang sedang mencari inspirasi untuk novelnya. Ia sering melihat Pak Dirman dari kejauhan, hingga akhirnya memberanikan diri untuk mendekat.
Pak Dirman tersenyum, menoleh ke arah Arya. “Laut ini, Nak, adalah cermin kehidupan. Kalau kau mau mendengar, ia akan membisikkan banyak hal.”
Arya mengernyit. “Apa maksud Bapak? Laut bisa berbicara?”
Pak Dirman tertawa kecil. “Bukan dengan suara seperti manusia, tapi dengan caranya sendiri. Dengarkan ombak itu. Kadang ia tenang, kadang bergemuruh. Seperti hidup, bukan?”
Arya menatap lautan. Ombak kecil menggulung perlahan ke pantai, seolah-olah ingin menyapa. “Apa yang Bapak pelajari dari laut?” tanyanya, kini benar-benar tertarik.
Pak Dirman menghela napas panjang, lalu berkata, “Laut mengajarkan kesabaran. Ketika kau melempar jaring, kau tak selalu langsung mendapat ikan. Kadang kau harus menunggu, kadang kau pulang dengan tangan kosong. Tapi itu bukan berarti laut marah. Sama seperti hidup, Nak. Kadang kita merasa usaha kita sia-sia, padahal sebenarnya kita sedang diajarkan untuk bersabar.”
Arya mengangguk pelan, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Laut juga mengajarkan kerendahan hati,” lanjut Pak Dirman. “Meski ia luas dan dalam, ia tak pernah sombong. Ia menerima segala yang datang padanya – sungai yang membawa air keruh, perahu yang melintas, bahkan sampah yang dibuang manusia. Laut tak pernah menolak. Tapi, ia juga punya batas. Kalau manusia melewatinya, ia bisa murka. Kau pernah dengar cerita tentang tsunami, kan?”
Arya mengangguk lagi. Kali ini ia merasa ada sesuatu yang hangat di hatinya. Ia tak pernah berpikir tentang laut dengan cara seperti itu.
“Yang terakhir, laut mengajarkan kita untuk terus memberi. Lihatlah, berapa banyak yang dihidupi oleh laut ini. Ikan, terumbu karang, bahkan manusia. Laut tak pernah meminta balasan,” ujar Pak Dirman. Ia menatap jauh ke horizon, seolah-olah sedang berbicara langsung dengan samudra.
Arya merasa kata-kata itu menyentuh jiwanya. Ia mulai melihat laut bukan hanya sebagai bentangan air yang luas, tetapi sebagai entitas yang hidup dan penuh makna. Ia memutuskan untuk menulis kisah tentang laut dan kebijaksanaannya, dengan harapan dapat menginspirasi orang lain seperti Pak Dirman menginspirasinya.
Hari itu, mereka duduk bersama di atas batu karang, mendengarkan bisikan laut yang tak pernah lelah bercerita. Bagi Arya, itu adalah awal dari perjalanan baru – perjalanan untuk memahami kehidupan melalui mata seorang nelayan tua dan suara ombak yang tak pernah berhenti.
Saat senja menjelang, Pak Dirman berbisik pelan, “Nak, ingatlah. Kehidupan ini seperti laut. Kadang tenang, kadang bergelora. Tapi di dalamnya selalu ada pelajaran yang menunggu untuk ditemukan. Hanya orang yang mau mendengar yang akan mengerti.”
Arya tersenyum dan berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pendengar yang baik – untuk laut, dan untuk kehidupan.

Catatan:
Cerpen di atas bisa ditemukan pula di akun Facebook penulis: Laut yang Berbisik tentang Kehidupan.

Posting Komentar untuk "Laut yang Berbisik tentang Kehidupan"