Sepuluh tahun lalu, ia mengalami turbulensi hebat dalam penerbangan dari Bali ke Jakarta. Guncangan yang tiba-tiba, teriakan penumpang dengan wajah-wajah panik membuatnya trauma. Sejak saat itu, ia bersumpah tidak akan naik pesawat lagi. Namun, hari ini, demi menghadiri pernikahan sahabatnya di Malaysia, ia mencoba mengalahkan ketakutannya.
“Mbak, maaf, kita sudah mulai boarding,” suara petugas membuyarkan lamunannya. Laila menarik napas panjang, lalu bangkit dengan langkah ragu.
Di dalam kabin, ia duduk di kursi yang tidak dekat jendela. Tangannya mencengkeram sandaran kursi penumpang di depannya, sementara pikirannya dipenuhi skenario buruk. Di sebelahnya duduk seorang pria paruh baya berkacamata, yang tampak tenang membaca buku berjudul Understanding Flight Anxiety.
“Kamu takut terbang?” tanya pria itu tiba-tiba, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.
Laila terkejut. “Iya… Dari mana Bapak tahu?”
Pria paruh baya itu tersenyum. “Saya psikolog penerbangan. Sudah banyak orang yang saya temui dengan ketakutan serupa.”
Laila menelan ludah. “Turbulensi… itu yang paling menakutkan.”
Pria itu menutup bukunya dan berkata, “Boleh saya jelaskan sesuatu?”
Laila mengangguk.
“Turbulensi itu seperti ombak di lautan. Pilot sudah terlatih untuk menghadapinya. Pesawat modern dibuat untuk menahan guncangan yang jauh lebih besar daripada yang pernah kita alami. Kalau pesawat terasa berguncang, itu bukan karena ada yang salah, tapi karena kita melewati udara yang bergerak tidak rata. Sama seperti mobil yang melewati jalan berbatu.”
Laila berusaha menyerap informasi itu.
“Pernahkah kamu dengar ada pesawat jatuh hanya karena turbulensi?” lanjut pria itu.
Laila berpikir sejenak. Tidak ada. Yang selalu ia dengar hanyalah kepanikan yang terjadi di dalam kabin.
“Karena itu tidak pernah terjadi,” pria itu melanjutkan. “Pesawat tidak bisa jatuh hanya karena turbulensi.”
Laila terdiam.
Penerbangan berjalan lancar hingga tiba-tiba lampu tanda sabuk pengaman menyala. Suara kapten terdengar di pengeras suara, mengumumkan bahwa mereka akan melewati sedikit turbulensi.
Wajah Laila tampak pucat. Sesaat kemudian, pesawat berguncang. Ia langsung mencengkeram lengan kursi dengan erat.
“Lihat saya.” Pria di sebelahnya berbicara dengan tenang. “Ingat, ini seperti mobil melewati jalanan bergelombang. Kamu tidak dalam bahaya.”
Guncangan bertambah kuat. Laila memejamkan mata, tapi kali ini ia mencoba bernapas perlahan. Ia membayangkan sedang naik perahu di lautan yang berombak.
Perlahan, turbulensi mulai mereda. Laila membuka mata, menyadari bahwa ia tidak menjerit atau menangis seperti dulu. Tangannya masih gemetar, tetapi tidak seburuk yang ia bayangkan.
“Lihat? Kamu berhasil melewatinya,” kata pria itu.
Sebuah senyum kecil muncul di wajah Laila. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, ia merasa bahwa ketakutannya mulai terkalahkan.
Ketika pesawat mendarat dengan mulus di Kuala Lumpur, Laila menghela napas lega. Ia melihat ke luar jendela, menyaksikan langit yang sama sekali tidak lagi terasa menakutkan.
Sebelum turun, ia menoleh ke pria di sebelahnya. “Terima kasih, Pak… Saya tidak tahu apakah saya akan langsung terbiasa, tapi setidaknya saya tidak ingin lari lagi.”
Pria itu tersenyum. “Keberanian bukan berarti tidak takut, tapi tetap maju meski takut. Selamat, Laila. Kamu sudah melangkah.”
Laila melangkah keluar dari pesawat dengan hati yang lebih ringan. Langit kini bukan lagi ancaman, tetapi tempat ia menemukan keberanian.
Posting Komentar untuk "Di Atas Awan, Aku Menemukan Keberanian"