Pelajaran dari Selembar Daun Gugur

Langit sore di taman kota mulai memerah, sementara angin sepoi-sepoi berhembus lembut. Di salah satu bangku kayu yang menghadap ke pohon beringin tua, seorang pria paruh baya bernama Rifqi duduk termenung. Di tangannya, ia memegang sebuah buku catatan kecil yang telah usang. Buku itu adalah warisan ayahnya, seorang guru yang telah lama berpulang.

Setiap kali Rifqi membuka buku itu, ia merasa seperti kembali mendengar suara ayahnya yang selalu penuh hikmah. Namun, ada satu halaman yang belum pernah ia pahami: sebuah catatan sederhana yang hanya berbunyi, "Pelajaran terbesar sering tersembunyi dalam hal kecil, seperti selembar daun gugur."

Hari itu, rasa ingin tahu Rifqi muncul lebih besar dari biasanya. Ia menatap pohon beringin di depannya, berharap menemukan jawaban dari pesan ayahnya.

Ketika Rifqi larut dalam pikirannya, seorang anak kecil mendekat. Anak itu membawa sebuah bola kecil dan tampak kebingungan. “Paman, bolehkah aku bertanya?” tanya anak itu dengan suara polos.

“Tentu saja, Nak,” jawab Rifqi sambil tersenyum.

“Kenapa daun-daun itu berguguran?” Anak itu menunjuk ke arah pohon beringin yang perlahan-lahan menjatuhkan daun-daunnya ke tanah.

Rifqi terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tetapi ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya. “Daun gugur karena sudah saatnya,” jawab Rifqi akhirnya. “Setiap daun punya masa. Ketika waktunya tiba, mereka melepaskan diri dari ranting untuk memberi ruang bagi daun-daun baru.”

Anak itu mengangguk, meskipun matanya masih menyimpan kebingungan. “Tapi Paman, apa daun gugur itu tidak merasa sedih karena harus pergi?”

Pertanyaan itu menghentikan Rifqi. Ia merasa seolah anak itu sedang bertanya kepada dirinya sendiri.

Setelah anak itu pergi, Rifqi kembali duduk, memandangi daun-daun yang berguguran satu per satu. Ia teringat perjalanan hidupnya. Sejak kecil, ia dididik untuk selalu berprestasi dan menjadi yang terbaik. Ayahnya adalah seorang yang sederhana tetapi bijaksana, sementara Rifqi terus mengejar ambisi yang kadang membuatnya jauh dari keluarga.

Ketika ayahnya meninggal, Rifqi tidak berada di sisinya. Ia sibuk dengan pekerjaannya di kota besar, mengejar impian yang ia pikir akan membuat ayahnya bangga. Namun, saat kembali ke rumah untuk pemakaman, ia merasa kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa pun yang telah ia raih.

Pesan dalam buku catatan itu, tentang selembar daun gugur, selalu terasa seperti teka-teki. Tapi kini, di bawah pohon beringin tua, ia mulai memahaminya.

Rifqi mengamati bagaimana angin membawa daun-daun yang gugur ke tanah. Tidak ada satu pun daun yang jatuh dengan sia-sia. Mereka menjadi bagian dari tanah, memberi nutrisi bagi pohon yang menopang kehidupan.

Ia sadar, seperti daun, manusia juga memiliki peran dalam siklus kehidupan. Ketika masanya tiba untuk melepaskan sesuatu—ambisi, ego, atau bahkan orang yang dicintai—itu bukan akhir, tetapi awal dari sesuatu yang baru.

Saat itulah Rifqi teringat kata-kata terakhir ayahnya sebelum pergi:
“Jangan takut kehilangan, Rifqi. Kadang, dengan melepaskan, kita menemukan makna yang lebih besar.”

Rifqi menutup buku catatan itu dengan senyum kecil. Ia merasa beban di hatinya mulai berkurang. Di taman itu, ia memutuskan untuk berubah. Ia akan lebih sering pulang, lebih banyak meluangkan waktu untuk orang-orang yang ia sayangi.

Pada akhirnya, seperti daun yang gugur, Rifqi memahami bahwa kehidupan tidak selalu tentang apa yang kita capai, tetapi apa yang kita tinggalkan. Warisan cinta, kebaikan, dan pelajaran hidup adalah hal-hal yang akan tetap tumbuh, bahkan ketika kita telah tiada.

Di bawah pohon beringin tua, Rifqi berbisik, “Terima kasih, Ayah, untuk pelajaran dari selembar daun gugur.”

Dan ketika daun berikutnya jatuh ke tanah, Rifqi melihatnya bukan sebagai akhir, tetapi sebagai permulaan yang indah.

Posting Komentar untuk "Pelajaran dari Selembar Daun Gugur"