Andi melangkah menuju aula kantor dengan langkah berat. Hari ini, seperti tanggal 17 di bulan-bulan sebelumnya, seluruh ASN di tempatnya bertugas berkumpul untuk memperingati Hari Kesadaran Nasional. Bagi Andi, upacara ini terasa membosankan. Semua hanya tentang pidato yang berisi nasihat-nasihat yang sama setiap bulan.
Namun, pagi itu, sebuah pengalaman membuka matanya akan makna sejati dari peringatan ini.
Andi bekerja sebagai staf administrasi di bagian perizinan. Usianya masih muda, dengan semangat besar untuk bekerja jujur. Namun, bekerja di bagian ini sering membuatnya berada di persimpangan. Banyak pemohon izin yang mencoba mempercepat proses dengan cara tidak etis.
Beberapa hari sebelum peringatan Hari Kesadaran Nasional, seorang pengusaha bernama Pak Herman datang ke kantornya. "Mas Andi, saya tahu proses ini biasanya lama. Tapi kalau you bisa bantu mempercepat, mungkin ada tanda terima kasih kecil," katanya dengan senyum tipis sambil menyodorkan amplop tebal.
Andi terdiam, menatap amplop itu. Dalam pikirannya, ia tahu tindakan seperti ini salah. Namun, ia juga tahu bahwa gajinya sebagai ASN pas-pasan, sementara kebutuhan hidup terus meningkat.
"Apa salahnya menerima sedikit tambahan? Toh, nyaris semua orang melakukannya," pikirnya.
Namun, sebelum tangannya menyentuh amplop itu, bayangan wajah ibunya muncul di benaknya. "Nak, bekerja itu harus jujur. Rezeki yang halal membawa berkah," kata ibunya dalam ingatannya. Andi menarik tangannya perlahan. "Maaf, Pak Herman. Semua proses di sini harus melalui jalur resmi. Saya tidak bisa menerima ini."
Pak Herman terlihat kecewa, tapi Andi merasa lega. Namun, rasa bimbang masih menyelimuti hatinya. "Apakah saya terlalu idealis? Apakah orang-orang jujur seperti saya masih punya tempat di dunia ini?"
Tanggal 17 pun tiba. Seperti biasa, upacara berlangsung di halaman kantor. Andi berdiri di barisan, pikirannya masih terbayang peristiwa dengan Pak Herman.
Ketika Kepala Dinas, Pak Rachman, naik ke podium, suasana menjadi sunyi. Dengan suara tenang, ia mulai berbicara.
"Saya ingin mengingatkan kita semua, terutama di zaman seperti sekarang, bahwa integritas adalah fondasi dari seorang ASN. Tidak peduli sebesar apa pun tekanan atau godaannya, kita harus tetap berada di jalur yang benar," katanya.
Pak Rachman melanjutkan, "Beberapa tahun lalu, saya pernah mendapat tawaran serupa. Sebuah proyek besar yang menjanjikan keuntungan luar biasa jika saya bersedia 'membantu' mempercepat prosesnya. Tapi saya menolak. Dan meski keputusan itu membuat hidup saya lebih sulit untuk sementara waktu, saya tahu saya telah memilih jalan yang benar."
Andi tertegun. Kata-kata itu seperti diarahkan langsung kepadanya.
Beberapa minggu setelah peringatan itu, Andi mendapat kabar mengejutkan. Pak Herman, yang sempat menawarkan sogokan, kembali ke kantornya. Kali ini, ia datang dengan wajah penuh rasa hormat.
"Mas Andi, saya ingin minta maaf atas sikap saya waktu itu. Saya mencoba jalur resmi, dan ternyata prosesnya jauh lebih cepat dari yang saya bayangkan. Sungguh melampaui ekspektasi saya. Anda benar-benar pegawai yang jujur. Saya harap lebih banyak ASN seperti Anda," kata Pak Herman.
Andi tersenyum. Kata-kata itu menghapus semua keraguannya selama ini. Ia sadar bahwa menjaga integritas bukanlah tugas yang mudah, tetapi dampaknya sangat besar.
Hari Kesadaran Nasional berikutnya, Andi berdiri di barisan dengan perasaan yang berbeda. Ia tidak lagi melihat upacara ini sebagai formalitas, tetapi sebagai pengingat untuk selalu berada di jalan yang benar.
"Kejujuran memang tidak mudah," pikir Andi. "Tapi itulah yang membuat kita benar-benar layak disebut sebagai pelayan masyarakat."
Dan sejak hari itu, Andi berjanji bahwa ia tidak akan pernah tergoda oleh sogokan atau tawaran-tawaran serupa. Karena baginya, bekerja dengan integritas adalah cara terbaik untuk menghormati negara, masyarakat, dan dirinya sendiri.
Posting Komentar untuk "Cahaya di Tanggal Tujuh Belas"