Di Ujung Titian Harapan

Hari itu, awan kelabu menggantung di langit Kampung Bukit Nur. Di kejauhan, terlihat seorang pemuda bernama Farhan berdiri di tepi jembatan kayu tua yang menghubungkan desa dengan kebun di seberang sungai. Jembatan itu telah menjadi simbol harapan bagi penduduk kampung, sebuah penghubung yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, bagi Farhan, titian itu adalah saksi dari pergulatan batin yang ia hadapi.

Farhan baru saja kehilangan ayahnya, seorang guru mengaji yang dihormati di kampung itu. Kepergian sang ayah tidak hanya meninggalkan duka, tetapi juga beban tanggung jawab yang terasa begitu berat di pundaknya. Kini ia harus menghidupi ibunya dan adiknya, Sarah, yang masih kecil. Namun, yang membuat hatinya semakin pilu adalah hutang-hutang yang ditinggalkan ayahnya untuk membangun madrasah kecil di kampung itu. Madrasah yang menjadi cahaya ilmu bagi banyak anak desa kini terancam ditutup karena tunggakan yang belum terbayar.

Dalam keputusasaan, Farhan berdoa di tepi jembatan itu. "Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui isi hati ini. Berikanlah aku jalan keluar. Tunjukkan aku titian yang benar menuju ridha-Mu."

Seolah menjawab doanya, seorang pria asing bernama Pak Hasan datang ke kampung itu. Pak Hasan adalah seorang pengusaha yang dulu pernah dibimbing oleh ayah Farhan ketika kecil. Ia datang membawa kabar bahwa ia ingin berinvestasi dalam pembangunan kampung. Namun, ketika mendengar tentang hutang madrasah, ia memberikan tawaran yang membuat hati Farhan terombang-ambing.

"Farhan," kata Pak Hasan dengan nada meyakinkan. "Aku bisa melunasi semua hutang itu dan membantu keluargamu, tapi aku punya satu syarat. Aku ingin tanah di belakang madrasah itu dijadikan lahan usaha. Kau tahu, lokasinya sangat strategis untuk membuka tempat hiburan."

Farhan tertegun. Ia tahu tanah itu adalah wakaf yang diserahkan oleh seorang dermawan untuk tujuan dakwah. Namun, kebutuhan keluarganya dan nasib madrasah membuat pikirannya bergejolak. Dalam hati, ia bergumul antara menjaga amanah wakaf dan keinginannya untuk segera keluar dari jerat kesulitan.

Di malam yang penuh kecemasan, Farhan bermimpi tentang ayahnya. Dalam mimpi itu, ayahnya menatapnya dengan senyum yang menenangkan dan berkata, "Farhan, Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang berpegang pada amanah menjadi rugi. Tetaplah pada jalan yang benar."

Keesokan harinya, Farhan merasa lebih mantap. Ia menemui Pak Hasan dengan hati yang teguh. "Pak Hasan," katanya dengan suara tegas, "Saya berterima kasih atas niat baik Anda, tetapi tanah itu adalah amanah. Saya tidak bisa menyerahkannya untuk tujuan yang tidak sesuai dengan niat wakaf. Jika Anda ingin membantu, marilah kita cari cara lain yang lebih berkah."

Pak Hasan terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Kau benar, Farhan. Aku hanya ingin menguji keteguhanmu. Ayahmu selalu berkata bahwa iman adalah jembatan menuju solusi. Aku akan melunasi hutang madrasah tanpa syarat. Mari kita jadikan tempat ini sebagai pusat pembelajaran yang lebih besar."

Dengan bantuan Pak Hasan, hutang madrasah pun lunas, dan madrasah itu berkembang menjadi tempat belajar yang lebih baik. Farhan menjadi sosok yang dihormati, bukan hanya karena ia menjaga amanah, tetapi juga karena keteguhannya dalam menghadapi godaan duniawi. Titian kayu tua itu kini tidak hanya menjadi simbol harapan, tetapi juga pengingat bahwa Allah selalu memberikan jalan bagi mereka yang berserah diri kepada-Nya.

Di ujung titian harapan, Farhan menemukan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita menjaga amanah dan tetap berada di jalan-Nya.

Posting Komentar untuk "Di Ujung Titian Harapan"