Fajar, seorang pemuda berusia 24 tahun, dikenal sebagai sosok yang tidak pernah absen dari shalat berjamaah di masjid kampungnya. Meski hujan deras mengguyur atau angin malam terasa menusuk tulang, langkahnya tak pernah surut menuju rumah Allah.
Hidup Fajar sederhana. Ia bekerja sebagai tukang kayu, membantu ayahnya mengolah kayu menjadi perabotan rumah tangga. Penghasilannya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi keberkahan hidupnya terasa begitu besar. Semua orang di kampung mengenal Fajar sebagai pribadi yang ramah, suka membantu, dan sangat taat beragama.
Namun, tak banyak yang tahu, perjalanan Fajar menjadi pemuda yang istiqomah tidaklah mudah. Lima tahun lalu, ia adalah remaja yang sering lalai. Waktu shalat sering terlewat karena asyik bermain game di warung internet. Hidupnya mulai berubah setelah kematian ibunya.
"Ibu hanya ingin satu hal dari Fajar," ujar ibunya sebelum mengembuskan napas terakhir. "Jadilah anak yang shalat tepat waktu, dan berjamaah di masjid kalau bisa."
Pesan itu begitu membekas di hatinya. Setelah pemakaman, ia mendatangi masjid terdekat untuk melaksanakan shalat Maghrib berjamaah. Saat itulah ia bertemu dengan Pak Ustadz Ridwan, seorang imam masjid yang bijaksana.
"Shalat berjamaah itu bukan hanya soal pahala yang dilipatgandakan, Nak," kata Pak Ustadz. "Tapi juga soal membangun hubungan dengan Allah dan sesama umat-Nya."
Sejak hari itu, Fajar bertekad untuk berubah. Ia memulai dengan shalat subuh berjamaah, meski awalnya berat. Ketika azan berkumandang, rasa kantuk sering menggoda untuk kembali tidur. Tapi Fajar mengingat pesan ibunya dan melawan rasa malas itu.
Konsistensi Fajar lambat laun menjadi contoh bagi pemuda kampung lainnya. Masjid yang dulunya sepi kini mulai ramai, terutama pada waktu Maghrib dan Isya. Anak-anak muda mulai mengikuti langkahnya.
Namun, ujian datang. Suatu malam, Fajar pulang dari masjid setelah shalat Isya. Dalam perjalanan, ia dihadang oleh tiga pemuda yang merasa iri dengan perubahan yang dibawa Fajar.
Di sebuah jalan gelap selepas Isya
Fajar melangkah pulang dengan tasbih kecil di tangannya. Suasana tenang malam itu berubah ketika tiga pemuda menghadangnya di sebuah gang sempit. Mereka adalah Radit, Irul, dan Dani, pemuda kampung yang sering berkumpul untuk hal-hal tak produktif.
Radit: "Hei, Fajar! Apa kau pikir kami tidak tahu? Kau membuat kami terlihat buruk di kampung ini!"
Irul: "Iya, sok alim banget! Gara-gara kau, orang-orang mulai membicarakan kami yang jarang ke masjid!"
Fajar menghentikan langkahnya. Matanya tetap tenang, tanpa sedikit pun rasa takut. Dengan lembut, ia menjawab.
Fajar: "Aku tidak pernah berniat membuat siapa pun terlihat buruk. Masjid adalah rumah Allah, bukan milikku. Aku hanya memenuhi panggilan-Nya."
Dani (marah): "Cukup ceramahnya, Fajar!"
Tanpa peringatan, Dani melayangkan pukulan ke arah Fajar. Refleks, Fajar mengangkat lengannya untuk menangkis serangan itu, tetapi ia tidak membalas.
Fajar: (dengan suara tenang) "Aku tidak akan melawan. Jika kalian merasa ini perlu untuk melepaskan kemarahan, aku memaafkan kalian."
Serangan demi serangan datang. Fajar hanya bertahan, mengangkat tangan untuk melindungi kepala dan wajahnya. Tubuhnya bahkan nyaris terhuyung, tetapi ia tetap berupaya berdiri tegak, menangkis serangan-serangan yang ditujukan padanya.
Radit: (terengah-engah) "Kenapa kau tidak melawan, hah?! Apa kau tidak punya harga diri?!"
Fajar menatap mereka dengan tatapan penuh kasih. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab.
Fajar: "Allah tidak mengajarkanku untuk membalas keburukan dengan keburukan. Aku memilih bertahan, bukan membalas, karena aku yakin kebaikan itu lebih kuat dari kemarahan. Kalau dengan ini kalian merasa lebih baik, aku rela."
Kata-kata itu menghentikan gerakan mereka. Radit, Irul, dan Dani saling pandang, wajah mereka mulai diliputi rasa bersalah.
Irul: "Kau benar-benar tidak marah? Bahkan setelah kami memukulmu?"
Fajar: (tersenyum tipis) "Aku hanya berharap suatu hari kita bisa melangkah bersama ke masjid, seperti saudara."
Ketiga pemuda terdiam, kebencian di hati mereka perlahan mencair. Dengan rasa malu, mereka meninggalkan Fajar yang berdiri sendirian di tengah jalan.
Keesokan harinya di masjid
Saat shalat subuh berjamaah, Fajar mendengar langkah berat memasuki masjid. Radit, Irul, dan Dani berdiri di belakang shaf, wajah mereka tertunduk. Seusai shalat, mereka mendekati Fajar yang sedang berzikir.
Radit: "Fajar, maafkan kami. Kami tidak tahu kenapa kami sampai melakukan itu. Kau terlalu baik kepada kami."
Fajar: (tersenyum hangat) "Aku sudah memaafkan kalian sejak semalam. Aku hanya berharap, kalian bisa ikut merasakan ketenangan yang aku temukan di masjid ini."
Dani: "Kami ingin berubah, Fajar. Bisakah kami belajar darimu?"
Fajar: "Kita belajar bersama. Semua ini bukan soal siapa yang lebih baik, tapi soal bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah."
Malam itu menjadi awal perubahan bagi Radit, Irul, dan Dani. Elegansi sikap Fajar yang tidak membalas keburukan dengan keburukan menjadi teladan bagi banyak orang di kampung itu.
Posting Komentar untuk "Di Bawah Naungan Mihrab"